"Damai Palsu" di Balik Luka Syahril: Dugaan Rekayasa Aparat Desa Bungkam Keadilan Anak 14 Tahun di Takalar
Takalar Sulsel, Sulawesibersatu.com – Di sudut sunyi Desa Timbuseng, jeritan keadilan seorang anak berusia 14 tahun nyaris tak terdengar. Syahril, yang diduga menjadi korban penganiayaan brutal, kini bukan hanya harus menyembuhkan luka di tubuhnya, tetapi juga berjuang menghadapi tembok tebal kekuasaan yang diduga menyembunyikan kebenaran.
Kasus ini menyeruak ke permukaan setelah keluarga Syahril melaporkan kejadian ke Polres Takalar pada Minggu, 1 Juni 2025. Namun yang menggemparkan bukan hanya kekerasan terhadap anak, tapi juga dugaan adanya permainan kotor dan upaya bungkam oleh aparat desa sendiri.
Nama Kepala Dusun Rahman Daeng Solle kini menjadi sorotan tajam. Ia diduga menjadi aktor kunci dalam pembuatan surat perdamaian sepihak yang merugikan korban. Pada 24 Mei lalu, Daeng Solle menyusun surat pernyataan damai tanpa melibatkan sedikit pun keluarga korban. Surat itu hanya ditandatangani oleh Ibu Shariana, orang tua dari IBL terduga pelaku penganiayaan.
Tidak ada tanda tangan dari orang tua maupun nenek Syahril. Tidak ada musyawarah. Tidak ada keadilan. Hanya selembar kertas dan klaim bahwa “semua sudah selesai.”
Ketika diminta klarifikasi, jawaban Kepala Dusun mencengangkan yaitu “Sudah didamaikan,” ucapnya singkat lewat pesan pribadi, disertai foto surat tersebut. Jawaban itu terasa seperti tamparan bagi keluarga korban, yang justru belum pernah diajak bicara.
Dengan penuh luka dan amarah, keluarga Syahril menolak surat tersebut dan menegaskan mereka tidak akan diam. “Kami tidak tahu menahu soal surat itu. Tidak ada damai karena anak kami bukan barang yang bisa di perjualbelikan dan kami ingin hukum ditegakkan!” ujar nenek korban dengan suara bergetar.
Pihak keluarga menduga ada tekanan agar mereka menerima “perdamaian instan” demi melindungi pelaku. Bagi mereka, ini bukan hanya tentang Syahril, tapi tentang harga diri masyarakat kecil yang hak-haknya diinjak oleh kekuasaan lokal.
Tak hanya laporan ke polisi, keluarga juga menuntut agar pemerintah daerah mengevaluasi dan mencopot serta mengadili Kepala Dusun Rahman Daeng Solle. Warga mendesak agar perilaku manipulatif seperti ini tidak dibiarkan menjadi tradisi di pemerintahan desa. Aparat seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan perisai bagi pelaku kekerasan.
Di balik wajah polos Syahril, tersimpan trauma yang tak bisa diselesaikan hanya dengan surat perdamaian. Masyarakat kini menanti, apakah hukum akan berpihak kepada korban atau kembali tunduk pada surat-surat abu-abu yang penuh kepalsuan?
Kini sorotan publik tertuju pada Polres Takalar dan pemerintah daerah. Apakah mereka akan berpihak pada suara lemah yang meminta keadilan, atau akan ikut diam di balik tembok kekuasaan?
Syahril butuh lebih dari sekadar simpati. Ia butuh keadilan. Dan keadilan tidak bisa lahir dari surat yang dibuat dalam gelap. (TIM)
0 Response to ""Damai Palsu" di Balik Luka Syahril: Dugaan Rekayasa Aparat Desa Bungkam Keadilan Anak 14 Tahun di Takalar"
Posting Komentar