-->

Neraka di Tepi Kapuas: Warga Mandi Limbah, Anak-anak Gatal, Negara Ke Mana?




Kubu Raya Kalbar, Sulawesibersatu.com — Di tengah gemuruh mesin pabrik dan dentuman harapan industri sawit, tersimpan jeritan lirih dari bantaran Sungai Kapuas. Warga Dusun Harapan Baru, Desa Permata, Kecamatan Kubu, hidup berdampingan dengan sesuatu yang tak kasatmata tapi mematikan: limbah cair beracun dari pabrik kelapa sawit milik PT. Bumi Perkasa Gemilang (BPG).


Bukan cerita fiksi. Pada 3 Juni 2025, tim media menyaksikan langsung: anak-anak kecil menceburkan diri ke air limbah yang mengalir dari pabrik, yang diduga dibuang tanpa pengolahan ke Sungai Kapuas. Warga dewasa pun mandi dan mencuci di air yang sama, air berwarna keruh, berbau menyengat, dan bercampur zat kimia. 


“Kami tahu air itu kotor, Bang. Tapi mau bagaimana? Ini satu-satunya sumber air yang kami punya. Gatal itu sudah biasa,” ujar seorang ibu sambil mengusap punggung anaknya yang dipenuhi ruam merah.


Pabrik PT. BPG berdiri kokoh hanya 200 meter dari pemukiman dan Sungai Kapuas, seolah menantang logika ruang dan batas kemanusiaan. Cerobongnya menyemburkan asap yang membuat dada sesak. Limbahnya mengalir ke sungai, membawa zat tak kasatmata yang pelan-pelan menyiksa warga. 


“Kami bukan hanya kehilangan air bersih. Kami kehilangan hak untuk hidup sehat,” kata seorang bapak dengan nada getir.


Warga telah lama hidup dalam kondisi ini. Gatal, sesak napas, kulit melepuh, hingga anak-anak yang mulai mengalami infeksi kulit. Bukan lagi soal ketidaknyamanan, ini sudah menyentuh ranah krisis kesehatan masyarakat.


Hasil investigasi lapangan menguatkan dugaan bahwa PT. BPG tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai. Air limbah langsung dibuang ke Sungai Kapuas, mencemari air yang selama ini menjadi nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat.


Pelanggaran ini nyata bahkan brutal. Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindakan tersebut merupakan bentuk kejahatan lingkungan dan pelanggaran hukum. 


“Ini bukan sekadar pencemaran. Ini adalah pembunuhan perlahan,” ujar Ketua Tim Investigasi Kujang yang menyebut akan segera mengirim surat resmi ke Bupati Kubu Raya, DLH, Gubernur Kalbar, hingga DPRD.


Warga sudah lelah menanti keadilan. Bertahun-tahun mereka hidup dengan racun. Mereka tidak meminta banyak, hanya air bersih, udara segar, dan masa depan anak-anak yang bebas dari gatal dan luka. 


“Kami ingin pejabat datang ke sini. Jangan tunggu anak kami mati karena racun baru kalian turun,” seru seorang warga di sela tangis.


Jika limbah dibiarkan mengalir dan anak-anak terus menderita, maka kita sedang menyaksikan genosida perlahan atas nama pembangunan. Negara tidak boleh tutup mata. Wakil rakyat tak boleh hanya bicara di meja sidang. Turunlah ke dusun ini, hiruplah bau busuk dari limbah itu, dan lihat bagaimana rasa sakit bukan sekadar data, tapi nyata di kulit dan nafas rakyat.


Redaksi media membuka ruang bagi pihak PT. BPG dan instansi terkait untuk memberikan klarifikasi atas temuan ini. Tapi kami tegaskan bahwa diam bukan pilihan. Dan rakyat bukan bahan uji coba industri.


Kami akan terus mengikuti kasus ini. Jika Anda adalah warga terdampak, aktivis lingkungan, atau pejabat yang peduli, ini saatnya bicara. Jangan biarkan sungai menjadi kuburan hidup dan anak-anak tumbuh dalam racun. (TIM)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Neraka di Tepi Kapuas: Warga Mandi Limbah, Anak-anak Gatal, Negara Ke Mana?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel