-->

"Suamiku Mati di Pabrik Sawit, Tapi Tak Ada yang Peduli": Jeritan Seorang Janda dari Tengah Perkebunan Kalimantan




Kubu Raya Kalbar, Sulawesibersatu.com — Di balik deretan pohon sawit yang menjulang di Kecamatan Terentang, tersembunyi kisah pilu seorang perempuan. Namanya Salma (52), janda dari seorang buruh tua yang telah mengabdikan hidupnya demi pabrik kelapa sawit. Kini ia duduk sendirian di beranda rumahnya yang reyot, memeluk baju terakhir suaminya, satu-satunya peninggalan yang masih ia genggam.


Suaminya, Hendrik Yusuf (61), wafat pada 20 April 2025. Namun yang lebih menyakitkan bagi Salma bukan hanya kepergian sang suami, melainkan sikap dingin perusahaan tempat almarhum bekerja selama hampir enam tahun: PT. Bumi Perkasa Gemilang PKS 10. 


“Dia mati demi pabrik itu. Tapi setelah dia pergi... seolah dia tak pernah ada,” ucap Salma dengan mata sembab.


Sejak Agustus 2018, Hendrik bekerja sebagai buruh peloding, pekerjaan kasar yang menguras tenaga. Tak peduli hujan atau panas, ia tetap datang. Tapi saat sakit datang, perusahaan justru menghilang.


Pada Juni 2024, Hendrik sakit selama tiga bulan. Tidak ada bantuan pengobatan, tidak ada gaji, tidak ada empati. Ia kembali bekerja setelah sembuh, hingga akhirnya jatuh sakit lagi pada 13 April 2025 dan meninggal dunia seminggu kemudian. 


“Kami bayar semua pengobatan pakai uang pinjaman. Bahkan untuk pemakaman, kami gali kubur sendiri,” kisah Salma dengan suara yang nyaris tak terdengar.


Hingga hari ini, tidak ada ucapan belasungkawa, tidak ada santunan, bahkan selembar amplop pun tak diterima dari perusahaan. Yang ada hanya kesunyian. Dingin. Seperti tak pernah ada hubungan antara Hendrik dan tempat ia menghabiskan separuh usianya. 


Media telah berupaya menghubungi manajemen PT. BPG PKS 10, namun hingga berita ini tayang, mereka memilih diam. Tak ada klarifikasi. Tak ada tanggung jawab. Seolah nyawa buruh tak lebih berharga dari setetes minyak sawit.


Aktivis buruh menyebut kasus ini sebagai "simbol kebusukan sistem ketenagakerjaan di sektor sawit", kaya raya di atas keringat pekerja, tapi miskin hati terhadap mereka yang jatuh. 


“Ini bukan cuma soal uang duka. Ini soal harga diri seorang manusia yang mati demi mencari makan,” ujar seorang pengamat ketenagakerjaan Kalbar.


Kini Salma tinggal sendiri, ditemani kenangan dan tagihan. Ia tahu suaminya bukan siapa-siapa, tapi dia yakin setiap tetes keringat Hendrik pernah berkontribusi pada kejayaan perusahaan. 


“Apa salahnya kasih kami sedikit penghargaan? Bukan sedekah. Tapi hak. Sebagai manusia.”


Kisah ini bukan sekadar cerita duka. Ini adalah tamparan keras bagi industri sawit dan para pengelolanya, bahwa di balik keuntungan besar, ada kehidupan yang direnggut dan dilupakan. Jika Anda membaca ini, suarakan! Karena jika satu buruh dibiarkan mati tanpa penghormatan, maka seluruh pekerja terancam dilupakan. (TIM)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to ""Suamiku Mati di Pabrik Sawit, Tapi Tak Ada yang Peduli": Jeritan Seorang Janda dari Tengah Perkebunan Kalimantan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel