“Dibayar dengan Nyawa Anak-anak”: Tragedi di Balik Program Makan Gratis Nasional
Jakarta, Sulawesibersatu.com - “Kami hanya ingin anak kami makan yang layak. Tapi hari itu, ia pulang dari sekolah dengan wajah pucat, muntah darah, lalu dilarikan ke rumah sakit. Itu bukan makan siang. Itu racun,” ungkap Rina, ibu dari seorang siswa SD di Jawa Barat. Ketika Presiden Prabowo meresmikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Januari 2025, harapan begitu tinggi. Program ini dijanjikan sebagai revolusi sosial untuk mengakhiri kelaparan dan kekurangan gizi di sekolah-sekolah Indonesia. Satu anak. Satu piring bergizi. Setiap hari. Gratis.
Tapi delapan bulan kemudian, apa yang terjadi di lapangan justru mencederai nurani bangsa yakni Lebih dari 5.360 anak keracunan makanan, Ribuan keluarga trauma, serta Sekolah berubah jadi ruang darurat. Pertanyaannya yaitu Siapa yang harus bertanggung jawab? Kenapa tak ada yang dihukum? Dan kenapa anak-anak yang harus jadi korban?
Bukan sekali dua kali. Dalam banyak kasus, gejalanya sama yaitu Perut melilit setelah makan siang, Mual hebat, Muntah-muntah, bahkan ada yang pingsan di ruang kelas, serta Dilarikan ke Puskesmas atau langsung ke IGD. Di satu kabupaten, lebih dari 100 siswa dilarikan ke rumah sakit dalam satu hari. Di daerah lain, guru dan kepala sekolah bungkam, takut menimbulkan "kepanikan". Bahkan ada laporan yakni menu makanan di sekolah berasal dari dapur katering tak berizin, di belakang pasar tradisional.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebutkan ini bukan sekadar kecelakaan. Ini adalah “kegagalan sistemik”. “Ketika lebih dari lima ribu anak keracunan dalam program nasional, ini bukan salah satu dapur. Ini salah satu negara,” kata juru bicara JPPI. Program MBG dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Mereka mengaku telah menyusun pedoman, membuat protokol, melatih penyedia makanan, bahkan membentuk sistem pengawasan.
Tapi kenyataannya?Vendor makanan dipilih tanpa seleksi ketat, Banyak makanan tak punya label izin edar, Ada dapur penyedia yang bahkan tak pernah lolos inspeksi Dinas Kesehatan dan lebih parah lagi yaitu ada laporan penggelapan dana makanan. Yang membuat publik semakin geram yakni Tak ada data transparan, Tak ada investigasi terbuka, Bahkan beberapa kepala sekolah dilarang bicara ke media. “Seolah-olah nyawa anak-anak kami tak lebih penting dari reputasi program nasional,” kata seorang guru dari Jawa Tengah, yang memilih bicara secara anonim.
Pemerintah memang telah membentuk Gerakan Pemantauan Bersama dan meminta masyarakat untuk melapor lewat media sosial. Tapi hingga kini yakni Tidak satu pun pejabat dicopot, Tidak satu pun vendor dicabut izinnya, serta Tidak satu pun penyedia makanan diproses hukum secara terbuka. Anak-anak itu tak pernah minta banyak. Hanya sepiring nasi, sepotong lauk, dan jaminan bahwa makanan mereka tidak akan membunuh mereka secara perlahan. Mereka percaya pada sekolah. Sekolah percaya pada negara. Tapi ketika sistem rusak dari hulu ke hilir, siapa yang mereka bisa percaya?
Apakah program ini disiapkan dengan matang atau dipaksakan demi pencitraan politik? Apakah negara peduli pada kualitas gizi atau sekadar membagi-bagi proyek katering? Dan yang terpenting yaitu kalau bukan anak pejabat yang jadi korban, apakah masih dianggap masalah? “Kami tak butuh makan gratis. Kami butuh makan yang aman,” ujar Arif, siswa kelas 6 SD yang selamat dari keracunan di Banten.
Program MBG adalah ide yang sangat mulia. Tapi pelaksanaan yang buruk justru mengubahnya menjadi tragedi nasional. Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya revisi pedoman tapi pembersihan total. Transparansi. Penindakan dan yang paling penting yakni perlindungan bagi anak-anak, bukan sekadar klaim keberhasilan angka. Punya cerita atau bukti soal MBG? Kirim ke redaksi kami secara anonim. Jangan diam. Karena diam bisa membunuh lebih banyak anak. (AN/ZA)
0 Response to "“Dibayar dengan Nyawa Anak-anak”: Tragedi di Balik Program Makan Gratis Nasional"
Posting Komentar