-->

"Pungli" di Pelabuhan Jampea: Bayar Lebih Mahal, Tanpa Tiket, Hanya Sobekan Kertas




Selayar Sulsel, Sulawesibersatu.com — Di balik lalu-lalang truk dan deru kapal di Pelabuhan Jampea, tercium aroma menyengat ketidakadilan. Suara klakson dan peluit pelabuhan menyamarkan satu praktik lama yang masih hidup yaitu pungutan liar. Diam-diam, tapi nyata.


Baharuddin, seorang pemilik truk pengangkut alat berat, masih mengingat betul kejadian Februari 2025 lalu. Truknya tergolong Golongan IX, klasifikasi resmi menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Namun saat akan menyeberang, ia dipaksa membayar tarif jauh di atas ketentuan resmi. Ironisnya, bukan tiket yang ia terima, melainkan sobekan kertas dengan coretan angka.


> “Tanpa tiket, tanpa struk. Hanya secarik kertas. Kalau bukan pungli, apa namanya?” kata Baharuddin dengan nada getir saat ditemui awak media.


Penelusuran tim media ke lokasi mengungkap lebih banyak kejanggalan. Di area loket, tidak ditemukan papan informasi tarif resmi. Saat ditanya, petugas hanya menjawab singkat: “Sesuai kebijakan pelabuhan.” Namun tak satu pun bisa menunjukkan dokumen atau aturan tertulis yang mendukung pernyataan itu.


Sistem pembayaran pun masih manual dan tanpa pencatatan resmi. Tidak ada mesin EDC, tidak ada sistem digital, bahkan tidak ada bukti pembayaran sah. Setiap sopir hanya menggenggam tanda kertas seadanya, yang tak memiliki legitimasi hukum.


Dr. Nurlina Malik, pakar hukum transportasi dari Universitas Hasanuddin (Unhas), menilai praktik ini sebagai pelanggaran serius.


> “Pungutan tanpa dasar hukum dan tanpa bukti sah adalah pelanggaran administratif. Tapi dalam konteks ini, sudah masuk ranah pidana,” tegas Nurlina.


Ia menyebut pengelolaan pelabuhan rakyat di wilayah timur Indonesia memang masih minim pengawasan, sehingga rawan disusupi penyimpangan.


Para pelaku usaha alat berat kini bersuara lantang. Mereka menuntut audit menyeluruh terhadap manajemen pelabuhan. Mereka khawatir jika praktik ini dibiarkan, biaya logistik akan terus membengkak, dan proyek-proyek pembangunan akan tertahan.


> “Kalau terus begini, kami yang tekor. Negara ikut rugi,” keluh Baharuddin.


Hingga berita ini diterbitkan, belum ada satu pun pernyataan resmi dari otoritas pelabuhan maupun Pemerintah Daerah Selayar. Seperti halnya pungli itu sendiri tidak terlihat, tapi melukai banyak pihak.


Praktik semacam ini bukan hanya soal uang. Ini soal keadilan, tata kelola, dan kepercayaan publik. Bila pelabuhan adalah gerbang ekonomi, maka pungli adalah karat yang perlahan merusaknya dari dalam. (TIM)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to ""Pungli" di Pelabuhan Jampea: Bayar Lebih Mahal, Tanpa Tiket, Hanya Sobekan Kertas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel