“Kapuas Tercekik: Pabrik Sawit, Sungai Beracun, dan Anak-anak yang Tak Bisa Bernapas”
Kubu Raya Kalbar, Sulawesibersatu.com - Dulu, Kapuas Adalah Ibu. Kini Ia Jadi Kuburan. Di tepi Sungai Kapuas, suara anak-anak yang dulu riang bermain air kini digantikan oleh batuk-batuk panjang dan suara ratapan orang tua. Air yang dahulu jernih, kini berubah kelabu dan berbau busuk. Warga sudah tak lagi bertanya kapan sungai ini akan pulih. Mereka kini hanya bertanya yaitu “Berapa lama lagi kami bisa bertahan?”
Dusun kecil bernama Harapan Baru sangat ironis, karena yang tersisa di sana bukan harapan, tapi derita yang mengendap di tubuh dan paru-paru. Di Balik Asap Hitam Itu, Ada Raksasa Bernama PT. BPG.
Hanya 200 meter dari pemukiman, berdiri megah Pabrik Kelapa Sawit milik PT. Bumi Perkasa Gemilang (BPG). Dari balik dinding beton dan cerobong menjulang itu, mengalir limbah tanpa saringan langsung ke Sungai Kapuas.
Tak ada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Tak ada tangki penampungan. Tak ada tanggung jawab. Yang ada hanyalah saluran terbuka dari pabrik ke sungai, seolah Kapuas adalah tempat sampah raksasa milik industri. "Kami tahu itu limbah. Tapi kalau nggak mandi pakai itu, kami harus nunggu hujan. Bisa tiga hari, lima hari. Anak saya gatal-gatal sampai berdarah," ujar Ibu muda, sambil menunjuk kulit anaknya yang penuh luka merah.
Dan Saat Cerobong Hidup, Warga Seakan Mati. Setiap hari, asap hitam pekat membumbung ke langit. Baunya menusuk. Bayi sesak napas. Lansia tumbang. Anak-anak mengigil di ruang tertutup. Tapi tak ada tempat untuk lari. Tak ada masker yang cukup. Tak ada suara yang cukup keras untuk menembus dinding kebijakan.
"Pernah anak saya sesak, hampir pingsan. Udara di rumah seperti dibakar. Kami tutup semua jendela, tapi tetap masuk. Kami tinggal di neraka, Bang," jelas Seorang ayah dengan suara bergetar.
Ini Bukan Sekadar Pencemaran. Ini Pelanggaran Konstitusional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pembuangan limbah tanpa pengolahan, apalagi dekat permukiman, adalah kejahatan lingkungan. Namun sejauh ini, tidak ada sanksi. Tidak ada sidak. Tidak ada sapa.
Ketika Dikonfirmasi, PT. BPG Tak Memberi Klarifikasi. Justru Mengucapkan Terima Kasih. Iya, Anda tidak salah baca.
Alih-alih membela diri, pihak manajemen mengucapkan terima kasih atas pemberitaan limbah mereka. Seolah racun yang membunuh perlahan ini hanyalah bahan konten.
Malam Itu, Warga Menggelar Forum Darurat. Bukan Untuk Diskusi. Tapi Untuk Menjerit. "Kami bukan tikus lab. Anak-anak kami bukan eksperimen. Kami butuh air bersih, udara bersih, dan hidup yang layak!".
Mereka tak meminta banyak. Hanya agar anak-anak mereka bisa bernapas tanpa batuk. Bisa mandi tanpa gatal. Bisa tumbuh tanpa racun di darah.
Kapuas Menunggu Keadilan. Warga Menunggu Tindakan. Indonesia Menunggu Kepedulian. Jika pemerintah diam, siapa yang akan bertindak? Jika DPRD tak datang, siapa yang akan mendengar? Jika semua hanya sibuk menghitung keuntungan, siapa yang akan menghitung nyawa yang hilang?
Ini bukan bencana alam. Ini bencana yang diciptakan manusia. Dan bisa dihentikan jika ada keberanian. Kapuas terbakar dalam diam. Akankah kita ikut membiarkannya mati? (TIM)
0 Response to "“Kapuas Tercekik: Pabrik Sawit, Sungai Beracun, dan Anak-anak yang Tak Bisa Bernapas”"
Posting Komentar