-->

“Mas Pamen” Melawan Negara: Kisah Arang, Arogansi, dan Matinya Hukum di Tanaharapan




Selayar Sulsel, Sulawesibersatu.com — Langit malam di Dusun Tanaharapan tak lagi gelap, melainkan kelabu. Asap tebal dari pembakaran arang ilegal perlahan menggulung pepohonan, menembus atap rumah warga, dan meresap ke paru-paru anak-anak yang tengah tidur. Ini bukan kejadian baru. Ini sudah berlangsung berminggu-minggu.


Dan semua orang tahu siapa pelakunya yaitu Mas Pamen alias Anto. Ia bukan pejabat, bukan tokoh penting, tapi tindakannya tak tersentuh hukum. Di negeri yang katanya menjunjung supremasi hukum, seorang pembakar arang bisa hidup seperti penguasa kecil tak tertandingi.


Pada Jumat malam, 13 Juni 2025, petugas dari Polsek Benteng kembali menyambangi lokasi pembakaran. Seperti biasa, mereka memberikan himbauan. Dan seperti biasa pula, Anto hanya menjawab, “iya,” lalu melanjutkan bakar arangnya. “Kami sudah turun. Kami sudah sampaikan. Tapi ya begitu,” kata salah satu petugas, dengan nada datar yang nyaris menyerah.


Apa yang membuat satu orang bisa begitu tenang saat aparat datang? Masyarakat menduga jawabannya hanya satu yakni bekingan. Desas-desus mulai membara seperti bara dalam tungku arang. Warga mulai saling berbisik. "Kalau tak ada yang jaga dari belakang, mustahil dia bisa seberani itu."


Polisi, tentara, pemerintah desa, semuanya seakan kehilangan wibawa. “Negara seolah mengalah di hadapan satu orang,” kata seorang warga, nyaris dengan air mata.


Yang lebih menyakitkan, DLH Selayar sudah menyatakan aktivitas itu ilegal dan tak berizin. Tapi teguran dari mereka hanya jadi angin lalu. Tidak ada penyegelan. Tidak ada penyitaan. Tidak ada proses hukum. Setiap hari, warga Tanaharapan menghirup asap. Setiap malam, mereka bertanya, kenapa hukum diam?


Sebagian mulai muak. Mereka tak lagi percaya pada janji aparat. Bahkan ada suara-suara yang mulai bicara soal aksi spontan. "Kalau aparat tak bertindak, rakyat bisa turun. Dan itu bisa jadi awal bencana sosial,” ujar seorang tokoh pemuda.


Kasus Mas Pamen bukan hanya tentang arang, asap, dan bau terbakar. Ini tentang ujian moral negara. Jika satu pelaku ilegal bisa melewati hukum begitu saja, maka hukum bukan lagi alat keadilan melainkan topeng kosong. “Kalau hukum bisa diabaikan oleh satu orang, apa artinya hukum bagi 270 juta warga Indonesia?” tanya seorang guru di dusun itu.


Pemerintah daerah, kepolisian, dan Dinas Lingkungan Hidup kini berdiri di batas waktu. Mereka harus memilih yaitu bertindak tegas, atau membiarkan kepercayaan publik hancur total. Negara tidak boleh kalah dari tungku arang. Tidak di Tanaharapan. Tidak di negeri ini. (TIM)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to " “Mas Pamen” Melawan Negara: Kisah Arang, Arogansi, dan Matinya Hukum di Tanaharapan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel