“Anak Pesantren Dianiaya, Hukum Masih Diam: Tangis Syahril Menunggu Keadilan”
Takalar Sulsel, Sulawesibersatu.com — Di sebuah kamar sederhana di Desa Timbuseng, seorang anak laki-laki duduk memeluk lutut, menatap kosong ke dinding. Namanya Syahril Saputra. Usianya baru 13 tahun. Harusnya hari-harinya diisi belajar, bercanda dengan teman, dan doa-doa remaja yang sedang mencari jati diri. Tapi kini, setiap malam ia menangis dalam diam, dihantui rasa takut yang belum pergi.
Pada Jumat, 23 Mei 2025, Syahril, santri kelas 1 SMP di Pondok Pesantren Assalam, diduga menjadi korban kekerasan brutal oleh kakak kelasnya sendiri, seorang siswa SMA berinisial IBL. Kejadian itu terjadi di lingkungan pesantren, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi para pencari ilmu. Tapi untuk Syahril, hari itu menjadi awal dari trauma panjang yang belum sembuh. Sudah lebih dari sebulan berlalu. Namun keadilan tak kunjung datang.
Keluarga Syahril tak tinggal diam. Mereka melaporkan kasus ini ke Polres Takalar pada 1 Juni 2025, teregister dalam LP/B/142/VI/2025/SPKT/POLRES TAKALAR/POLDA SULSEL. Keesokan harinya, surat perintah penyelidikan dikeluarkan. Namun anehnya, status kasus belum juga naik ke tahap penyidikan, dan pelaku masih bebas tanpa proses hukum yang jelas. “Setiap malam dia takut tidur sendiri. Kalau dengar suara keras, dia langsung gemetar,” ungkap seorang anggota keluarga.
Sorotan tajam pun datang dari tokoh nasional, Panglima Ji’kong Ahmadia Buang, Pimpinan Office Law Media Bangsa. Ia menyebut kasus ini sebagai contoh nyata lambannya hukum dalam merespons penderitaan rakyat kecil. “Kami minta Polres Takalar bertindak cepat. Jangan biarkan keadilan macet di tengah jalan. Jangan sampai hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah,” kata Panglima Ji’kong kepada awak media, Selasa (1/7/2025).
Panglima juga menyoroti indikasi kuat adanya tekanan atau permainan kekuasaan yang membuat kasus ini seolah “diredam” di balik tembok pesantren. Upaya mediasi sempat dilakukan oleh penyidik, BRIPDA Muh. Hajar Aswad Azis, namun keluarga Syahril menolaknya mentah-mentah. Bagi mereka, ini bukan soal damai atau tidak. Ini soal hak seorang anak yang dianiaya untuk mendapat perlindungan hukum. “Kami tidak ingin ada anak-anak lain yang menjadi korban berikutnya hanya karena pelaku tidak diproses. Kalau hari ini dibiarkan, besok bisa terjadi lagi,” tegas perwakilan keluarga.
Kini masyarakat bertanya, mengapa kasus yang sudah dilaporkan resmi dan memiliki bukti serta saksi, tak juga diproses dengan tegas? Apakah karena pelaku punya “orang kuat” di belakangnya? Ataukah ini hanya satu dari sekian kasus kekerasan di lembaga pendidikan yang dibiarkan menguap tanpa penyelesaian?
Kisah Syahril bukan hanya tentang seorang anak yang terluka. Ini adalah ujian bagi sistem hukum kita yaitu apakah hukum masih berdiri untuk mereka yang lemah? Ataukah keadilan kini hanya milik mereka yang punya kekuasaan? (TIM)
0 Response to " “Anak Pesantren Dianiaya, Hukum Masih Diam: Tangis Syahril Menunggu Keadilan”"
Posting Komentar