"Mandulnya Presisi: Saat Ishak Hamzah Dipenjara Karena Membela Tanah Warisan Keluarga"
Makassar, Sulawesibersatu.com — Di balik megahnya jargon Presisi yang digaungkan Polri sebagai wajah baru penegakan hukum yang prediktif, bertanggung jawab, dan transparan berkeadilan, kisah Ishak Hamzah, warga kecil dari Makassar, menyibak kenyataan pahit yakni keadilan bisa dibungkam, hukum bisa ditunggangi.
Ishak baru saja menghirup udara bebas setelah 58 hari mendekam di Rutan Polrestabes Makassar, dituduh menyerobot tanah miliknya sendiri, tanah yang telah diwariskan turun-temurun dari kakeknya, Soeltan bin Soemang, dan dipertahankan hingga ayahnya, Hamzah Daeng Taba, wafat. “Saya ini hanya mempertahankan tanah keluarga. Tapi malah ditahan. Bukan keadilan yang saya dapat, tapi penindasan,” ujar Ishak dengan mata berkaca-kaca, Senin (20/10/2025).
Masalah bermula ketika seorang perempuan berinisial Hj. WSR melaporkan Ishak atas dugaan penyerobotan lahan. Polisi kemudian menjerat Ishak dengan Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin. Namun menurut kuasa hukumnya, Maria Monika Veronika Hayr, SH, dakwaan tersebut sangat lemah bahkan terkesan dipaksakan. “Dua bukti yang dipakai sangat tidak valid. Yang satu hanya salinan tidak utuh dari buku F kelurahan, tanpa keaslian yang bisa dipertanggungjawabkan. Satunya lagi hanya patok tanah dan pos jaga dari kayu milik keluarga Ishak sendiri,” ungkap Maria.
Ironisnya, seluruh dokumen sah yang menguatkan kepemilikan Ishak diabaikan. Di antaranya yaitu Bukti PBB atas nama ayahnya, Surat sporadik penguasaan fisik, Penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama, Surat dari Dirjen Pajak yang mengakui kepemilikan, serta kesaksian warga sekitar. “Semua bukti kami diabaikan. Tapi salinan buku F tanpa jaminan keaslian bisa jadi dasar penahanan saya. Di mana logikanya?” keluh Ishak.
Puncak ironi terjadi ketika Ishak melapor ke Bidang Propam Polda Sulsel karena merasa diperlakukan tidak adil. Bukannya mendapat perlindungan, Ishak malah mendapat pasal tambahan yakni Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan dokumen. “Kami lapor karena penyidik tidak profesional. Tapi justru muncul pasal baru setelah pelaporan. Ini bentuk nyata kriminalisasi,” tegas Maria.
Upaya hukum Ishak membuahkan hasil yaitu pengadilan memenangkan praperadilan yang diajukan tim kuasa hukum. Penahanannya dinyatakan tidak sah, dan akhirnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dikeluarkan. Namun hingga kini, tidak ada satu pun oknum aparat yang diperiksa atau dijatuhi sanksi.
Maria menyebut, ini bukan sekadar konflik agraria biasa, melainkan indikasi sistemik penyalahgunaan hukum. “Ini pola kriminalisasi klasik yakni masyarakat kecil yang mempertahankan hak justru dikriminalkan. Lapor ke pengawas internal, malah dibalas intimidasi hukum,” ungkapnya.
Kisah Ishak Hamzah telah menjadi simbol perlawanan terhadap hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Di era yang konon menjunjung transparansi dan berkeadilan, nyatanya hukum bisa berubah jadi alat represi. “Kalau mempertahankan tanah sendiri saja bisa dipenjara, lalu untuk siapa hukum ini sebenarnya dibuat?” tutup Ishak dengan getir.
Masyarakat menanti apakah Polda Sulawesi Selatan berani membuka tabir dugaan pelanggaran etik dan HAM berat ini, atau justru memilih membiarkan status quo terus berkuasa di balik seragam. Karena jika slogan Presisi hanya indah di spanduk dan pidato, tanpa keberanian menghadirkan keadilan, maka ia bukan prinsip hukum tapi sekadar hiasan kosong dalam negara hukum yang makin kehilangan nurani. (TIM)

0 Response to " "Mandulnya Presisi: Saat Ishak Hamzah Dipenjara Karena Membela Tanah Warisan Keluarga""
Posting Komentar