Simposium Internasional di Maros Tercoreng: Wartawan Ditarik Paksa, Panitia Pamer Arogansi!
Maros Sulsel, Sulawesibersatu.com – Simposium Internasional Gau Maraja 2025, yang semestinya menjadi etalase budaya Indonesia di mata dunia, justru berubah menjadi panggung intimidasi terhadap kebebasan pers.
Di hadapan delegasi dari 12 negara, seorang wartawan perempuan dari Tribun Timur mengalami perlakuan kasar oleh oknum panitia, Jumat (4/7/2025), di Gedung Serbaguna, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Semua terjadi begitu cepat. Saat sang jurnalis tengah mewawancarai peserta asal Pakistan usai sesi simposium, seorang pria menghampiri dan menarik paksa tangannya, menghentikan wawancara dengan nada tinggi. “Saya ketua panitia di sini! Semua harus seizin saya dulu!” teriak pria tersebut di hadapan wartawan, peserta asing, dan panitia lain.
Wartawan itu tampak terkejut dan terpukul secara psikologis. Aksi itu terekam jelas di benak para saksi, termasuk jurnalis lain yang langsung bereaksi keras.
Salah satu saksi, jurnalis bernama Alfi, tidak tinggal diam. Ia mengecam keras tindakan tersebut. “Saya protes langsung. Ini bukan hanya tidak sopan, ini pelecehan! Menarik tangan perempuan di ruang publik, apalagi saat bertugas, adalah pelanggaran etika dan moral!” tegasnya.
Yang membuat publik semakin geram, media tempat wartawan itu bekerja telah menerima undangan resmi dari Kementerian Kebudayaan untuk meliput acara sejak awal. Bahkan, mereka sebelumnya telah mewawancarai Menteri Kebudayaan Fadli Zon tanpa kendala.
Ketua Panitia Gau Maraja 2025, Marjan Masse, akhirnya angkat suara. Ia menyampaikan permintaan maaf kepada media dan publik. “Kami sangat menyesalkan insiden ini. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi dan akan segera melakukan klarifikasi internal.”
Namun permintaan maaf itu tak serta-merta menghapus pertanyaan yaitu mengapa intimidasi terhadap jurnalis bisa terjadi di acara sekelas internasional? Di mana standar profesionalisme panitia? Mengapa kekuasaan kecil di tingkat lokal bisa berubah menjadi tirani di hadapan kamera dan wartawan?
Simposium internasional bukan hanya soal tari-tarian, sambutan, dan batik. Ia adalah panggung dunia, tempat di mana kita menunjukkan siapa kita sebenarnya. Sayangnya, dalam insiden ini, yang ditampilkan bukan keramahan Nusantara, melainkan arogansi kekuasaan kecil yang tak tahu batas.
Media bukan musuh. Jurnalis bukan pengganggu. Mereka adalah saksi zaman, pengawal demokrasi. Dan ketika tangan wartawan ditarik paksa, yang tercabik bukan hanya lengan tapi juga wibawa Indonesia. Ini bukan sekadar insiden. Ini adalah peringatan. (TIM)
0 Response to "Simposium Internasional di Maros Tercoreng: Wartawan Ditarik Paksa, Panitia Pamer Arogansi!"
Posting Komentar