Dari Jeruji Besi Menuju Pelukan Keluarga: Perjuangan Panjang Pasutri Tersangka Penganiayaan Berakhir Damai Lewat Restorative Justice
Takalar Sulsel, Sulawesibersatu.com — Sabtu pagi di Takalar menjadi saksi bisu sebuah akhir bahagia dari cerita yang nyaris berujung di balik jeruji besi. Seorang ibu rumah tangga, yang sebelumnya menghuni Lapas Takalar sebagai tersangka penganiayaan, akhirnya menghirup udara bebas dan kembali ke keluarganya. Bukan karena vonis pengadilan melainkan karena hati nurani, dialog, dan semangat keadilan sosial yang menyatukan dua pihak yang sempat bertikai.
Proses hukum yang menjerat pasangan suami istri ini awalnya tampak tanpa harapan. Keduanya dijerat Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan bersama. Sang istri ditahan, sementara sang suami yang juga berstatus tersangka tak pernah merasakan jeruji karena kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan. Tapi ini bukan cerita tentang siapa bersalah dan siapa korban. Ini adalah kisah bagaimana hukum tak hanya menindak, tapi juga memulihkan.
Di balik layar, LKBH Minasa Keadilan, lembaga yang dipimpin oleh Muhammad Arsyad, berjuang tanpa henti. Mereka tak hanya bicara pasal, tapi juga bicara hati. Mereka tak hanya memikirkan klien, tapi juga perdamaian. “Kami dampingi sejak awal. Suaminya tidak ditahan karena alasan kemanusiaan, dan kami sangat mengapresiasi langkah bijak dari pihak Kejaksaan,” kata Arsyad.
Namun perjuangan tak semudah yang dibayangkan. Berkali-kali mediasi diupayakan dan berkali-kali pula gagal. Kedua pihak masih membawa luka, amarah, dan kelelahan. Hingga akhirnya, pada 28 Juli 2025, sebuah cahaya kecil datang dari tempat yang tak disangka yakni kantor Pemerintah Desa.
Lewat mediasi yang hangat dan tidak menghakimi, Pemerintah Desa berhasil mempertemukan dua keluarga yang pernah berseteru. Mereka bicara. Mereka mendengar. Dan yang paling penting yaitu mereka saling memaafkan.
Kesepakatan damai itu bukan sekadar tanda tangan di atas kertas. Itu adalah simbol kemenangan nalar dan nurani atas dendam. Setelahnya, Kejaksaan pun bertindak cepat. Melalui mekanisme Restorative Justice, perkara resmi dihentikan pada 1 Agustus 2025. Dan pagi ini, 2 Agustus, Lapas Takalar membuka pintunya.
Perempuan itu melangkah keluar. Bukan dengan wajah penuh luka, tapi dengan senyum lega dan air mata haru. Anak-anaknya memeluknya. Suaminya menatap dengan mata yang lembap. Ia tahu: bukan pengacara yang membebaskannya, bukan jaksa, bukan aparat tapi dialog, empati, dan keberanian untuk saling memaafkan. “Kasus ini membuktikan: hukum bukan hanya alat menghukum, tapi juga jembatan untuk memulihkan. Kami berterima kasih kepada semua pihak, terutama Kejaksaan dan Pemerintah Desa,” ujar Arsyad menutup pernyataannya.
Di tengah maraknya kriminalisasi dan jeratan hukum yang kaku, kisah ini menjadi pengingat bahwa hukum bisa bertransformasi. Bahwa keadilan tak melulu berbicara tentang balas dendam, tapi juga tentang rekonsiliasi. Dan hari ini, di sebuah desa di Takalar, keadilan itu pulang ke rumah. Bersama seorang ibu. Bersama keluarganya. (Rene Wijaya)
0 Response to "Dari Jeruji Besi Menuju Pelukan Keluarga: Perjuangan Panjang Pasutri Tersangka Penganiayaan Berakhir Damai Lewat Restorative Justice"
Posting Komentar