"Dari Panggung Penghargaan ke Balik Jeruji: Runtuhnya Mahkota Sang Kades Teladan"
Jeneponto Sulsel, Sulawesibersatu.com — Beberapa tahun lalu, namanya dielu-elukan. Wajahnya menghiasi baliho, disebut-sebut dalam seminar nasional, bahkan masuk dalam laporan Kementerian sebagai teladan perubahan. Ia adalah Mansur, Kepala Desa Balangloe Tarowang (Baltar) simbol kebangkitan desa di Selatan Sulawesi.
Tahun 2021, ia dinobatkan sebagai Kepala Desa Terbaik se-Indonesia oleh Kementerian Kesehatan RI, berkat transformasi desanya lewat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Ia mengubah perilaku warga, membangun toilet umum, menyalakan lampu jalan, dan menjadikan Baltar dikenal sebagai "desa sehat dan bercahaya."
Namun hari ini Selasa (30/9), namanya kembali disebut publik bukan karena prestasi, tapi karena skandal yang mencatatkan babak baru dalam hidup Mansur. Kejaksaan Negeri Jeneponto secara resmi menyatakan berkas perkaranya telah lengkap (P21). Ia kini berstatus tersangka kasus penggelapan aset desa. Perkara yang membawanya ke ambang hukuman berat itu bermula dari satu tindakan: menggadaikan BPKB mobil dinas desa untuk keperluan pribadi.
Mobil itu jenis Grandmax seharusnya digunakan untuk mendukung pelayanan warga. Namun dalam diam, BPKB-nya berpindah tangan. Negara pun merugi hingga Rp109 juta, menurut hasil audit. "Setelah penyidikan panjang, berkasnya kami nyatakan lengkap," kata Ipda Nurhadi, Kanit Tipidkor Polres Jeneponto, yang menangani kasus tersebut.
Mansur saat ini masih berada di Rutan Makassar, bukan karena kasus korupsi ini, melainkan karena kasus penipuan pembiayaan di Kabupaten Gowa. Ya, dua kasus berbeda. Dua luka hukum dalam satu nama dan setelah masa hukumannya selesai di Gowa, ia tidak akan bebas melainkan akan langsung menjalani proses hukum atas perkara tipikor ini.
Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Subsider Pasal 3, Lebih subsider Pasal 8 dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun, atau bahkan seumur hidup. Yang membuat publik terhenyak bukan hanya angka kerugian negara. Tapi fakta bahwa pelakunya adalah sosok yang dulu dianggap "penyelamat desa."
Di bawah kepemimpinannya, Desa Baltar tak hanya sehat secara sanitasi, tapi juga meraih penghargaan Desa Cantik (Cinta Statistik) dari Pemkab Jeneponto simbol dari tata kelola data yang transparan. Sebelum jadi kades, Mansur adalah kontraktor sukses yang pernah membawa beberapa sekolah menjuarai lomba Adiwiyata nasional.
Ia bahkan punya mimpi besar yaitu membangun kolam renang desa, mimpi yang kala itu dianggap gila tapi realistis jika melihat ambisinya. Kini, semua mimpi itu tinggal cerita. Di desa, nama Mansur masih disebut bukan dengan bangga, tapi dengan getir. "Kami pikir dia orang baik, dulu sangat peduli warga. Tapi ternyata, kepercayaan kami disalahgunakan," ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Kini, dari mahkota prestasi, Mansur harus bersiap mengenakan rompi tahanan. Dari panggung-panggung seminar dan penghargaan, ia harus bersiap duduk di kursi pesakitan. Cerita Mansur bukan hanya tentang kejatuhan seorang pemimpin. Ini adalah kisah nyata tentang bagaimana ambisi tanpa kontrol bisa berubah jadi bumerang. Tentang bagaimana satu celah penyimpangan bisa meruntuhkan puluhan catatan kebaikan.
"Kepala desa bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah simbol kepercayaan dan ketika simbol itu retak seluruh fondasi desa ikut goyah." Kini publik menunggu yakni apakah hukum akan ditegakkan seadil-adilnya? Ataukah kisah ini hanya akan jadi satu catatan luka lain dalam sejarah panjang pengkhianatan publik? (TIM)
0 Response to ""Dari Panggung Penghargaan ke Balik Jeruji: Runtuhnya Mahkota Sang Kades Teladan""
Posting Komentar