-->

“Tahta dalam Bahaya”. Skandal Keluarga Gubernur Kalbar, Dinasti Politik, dan Titik Balik Demokrasi Mempawah




Pontianak Kalbar, Sulawesibersatu.com - Di permukaan, tak ada yang aneh. Tapi ketika foto itu menyebar di media sosial, publik Kalimantan Barat langsung bergemuruh. Tampak Arif Rinaldy anggota DPRD Kalbar dari Partai Golkar, sekaligus putra sulung Gubernur Ria Norsan, duduk bersama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, dan artis sekaligus figur dekat Istana, Raffi Ahmad.


Yang membuat rakyat marah bukan siapa yang ada dalam foto itu, tapi kenapa mereka bertemu di tengah badai yakni saat KPK tengah membongkar skandal korupsi miliaran rupiah di Mempawah, kasus yang menyeret adik kandung sang gubernur sendiri. Bagi publik, ini bukan silaturahmi politik. Ini sinyal darurat yaitu apakah hukum sedang ditukar dengan kekuasaan?


Di Mempawah, jalan-jalan penuh lubang. Proyek pembangunan seperti hantu datang, menyerap anggaran, lalu menghilang tanpa bekas. Kini, fakta-fakta mulai terbuka yakni diduga kuat, proyek-proyek itu dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi langsung dengan keluarga Gubernur Kalbar.


Ria Mulyadi, adik kandung gubernur, menjadi salah satu tersangka dalam proyek peningkatan jalan dan pengadaan alat berat. Bukan hanya karena ia terlibat, tapi karena sistem ini tampak sudah dirancang: dari hulu ke hilir, dari pengadaan hingga pengesahan, semua mengalir ke satu titik: keluarga. "Ini bukan sekadar korupsi. Ini orkestrasi kekuasaan," ujar seorang penyidik yang enggan disebut namanya.


Lebih dari 100 hari, Kalimantan Barat seperti berjalan sendiri. Gubernur Norsan hampir tak terlihat di tanahnya sendiri. Rapat-rapat penting dibatalkan. Agenda pembangunan tertunda. Pemerintahan terhuyung.


Sementara itu, di Jakarta, sang gubernur diduga tengah sibuk merajut strategi: menyelamatkan keluarganya, bukan menyelamatkan rakyatnya. Yang memimpin kini bukanlah pemimpin terpilih, tapi krisis.


Tim investigasi kami menemukan bahwa gelombang intimidasi mulai menyapu media lokal dan aktivis. Wartawan ditawari “kontrak kerja sama” dengan syarat yaitu berhenti memberitakan kasus Mempawah. Aktivis mahasiswa diminta "tenang" oleh ormas tertentu yang diduga punya hubungan dengan kekuasaan. “Saya lebih takut kehilangan integritas daripada kehilangan pekerjaan,” ujar seorang wartawan muda yang kini mengungsi demi keselamatannya. Demokrasi tidak sedang diuji ia sedang dicekik.


Semua mata kini tertuju ke satu lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Rakyat Kalbar tidak butuh janji. Mereka butuh aksi, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan tanpa kompromi. Bukan pada kambing hitam, tapi pada mereka yang menjadi arsitek kekuasaan kotor. Jika KPK gagal bertindak, maka yang hancur bukan cuma kredibilitas lembaga, tapi masa depan demokrasi daerah.


Apa yang terjadi di Kalimantan Barat bukan hanya kasus hukum. Ini adalah titik balik sejarah. Sebuah kerajaan politik sedang retak dari dalam. Dan rakyat tidak lagi diam. Gugatan mereka jelas yaitu kami ingin pemimpin, bukan pewaris. Kami ingin hukum bukan kompromi. Jika sistem gagal membersihkan dirinya, maka rakyat akan melakukannya. Di jalanan. Di TPS. Di sejarah. Kalbar sudah bangun. Sekarang giliran KPK bergerak. Atau kita akan saksikan kekuasaan berubah menjadi warisan gelap. Ini bukan akhir. Ini baru pembuka. (TIM)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "“Tahta dalam Bahaya”. Skandal Keluarga Gubernur Kalbar, Dinasti Politik, dan Titik Balik Demokrasi Mempawah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel