“Bibit Neraka” dari Proyek Surga: Skandal Rp28 Miliar di Tengah Ladang Layu Sulbar
Polman Sulbar, Sulawesibersatu.com — Di atas kertas, proyek ini tampak mulia. Pemerintah menggelontorkan Rp28,1 miliar demi membangkitkan kejayaan kakao Sulawesi Barat. Ribuan bibit unggul dijanjikan akan menjadi tulang punggung ekonomi petani. Namun kenyataan di lapangan justru menciptakan parodi pembangunan. Yang datang bukan harapan, melainkan bibit mati, daun menguning, dan batang yang patah tak bersisa.
Di desa-desa Polewali Mandar, bibit kakao datang seperti mimpi buruk. Beberapa layu sebelum disentuh. Yang lain bahkan tak sempat melihat tanah. Disimpan berjam-jam di dalam truk panas, tanpa ventilasi. “Bibitnya seperti habis terbakar matahari. Kering, rusak, bahkan ada yang tidak disambung pucuk,” kata Syamsuddin, Kepala Desa Amola, dengan wajah kecewa.
Bukan hanya kualitasnya yang menyedihkan, petani juga tak diberi tahu bahwa bibit rusak bisa diganti. Tanpa informasi, tanpa pendampingan, tanpa perlindungan. Inilah yang paling menyakitkan yakni Bibit rusak ini dibeli dengan harga Rp17 ribuan per batang, padahal harga pasaran di penangkar lokal hanya sekitar Rp9 ribu. “Ini bukan salah hitung. Ini bisa jadi bentuk kesengajaan. Dugaan korupsi bukan isapan jempol,” tegas Andi Irfan, aktivis antikorupsi Sulbar.
Yang lebih ironis, Sulbar sebenarnya memiliki penangkar bibit sendiri. Tapi alih-alih memberdayakan sumber daya lokal, proyek ini justru memilih penyedia dari luar daerah:
CV Wahana Multi Cipta dari Kolaka, Sulawesi Tenggara, dan pelaksana lapangan CV Aysando Utama. “Uangnya berputar keluar daerah. Petaninya hanya dapat daun kering,” tambah Irfan.
Truk-truk pengangkut tak mampu menjangkau desa-desa terpencil. Bibit diturunkan secara sembarangan, dibiarkan semalaman di dalam kendaraan. Tak ada pengawasan, tak ada kontrol kualitas. “Ini seperti proyek dikebut, asal jalan, asal keluar angka serapan,” kata seorang PPL yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, Dinas Perkebunan Sulbar melalui Muliadi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menyatakan bahwa bibit rusak bisa diganti asal dibuat berita acara kematian benih maksimal 10 hari, atau lewat pun masih bisa asal ada bukti foto/video. Sayangnya, di lapangan, nyaris tak ada petani yang tahu prosedur ini.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik proyek ini? Mengapa harga bisa naik dua kali lipat dari pasar lokal? Mengapa kualitas bibit buruk tapi tetap didistribusikan? Mengapa tak ada pengawasan ketat dari hulu ke hilir? Dan yang paling penting yaitu siapa yang diuntungkan dari proyek gagal ini? Gelombang desakan kini datang dari berbagai arah yakni Aktivis menuntut audit menyeluruh, Petani mendesak penggantian total, Publik meminta kepala dinas dan kontraktor diperiksa, serta Masyarakat tak lagi bisa dibungkam dengan janji-janji manis. Karena apa gunanya bibit unggul, jika prosesnya penuh busuk?
Rp28 miliar bukan hanya soal anggaran. Itu adalah kepercayaan rakyat dan ketika bibit yang dijanjikan jadi penyambung hidup justru dikirim dalam kondisi mati, maka yang benar-benar rusak adalah sistemnya. Ini bukan hanya proyek gagal. Ini adalah alarm bahwa dalam sunyi ladang dan desa, ada kejahatan yang tumbuh dalam diam. Petani butuh bibit hidup. Bukan proyek mati. Bukan janji busuk. Bukan anggaran yang membusuk bersama batang patah. (TIM)
0 Response to "“Bibit Neraka” dari Proyek Surga: Skandal Rp28 Miliar di Tengah Ladang Layu Sulbar"
Posting Komentar